Saturday, September 27, 2008

Mencuci

Aku adalah tipe orang yang percaya bahwa seseorang akan mampu melakukan apa pun tatkala terpaksa.  Misal: zaman kecil dulu, orang tuaku lumayan ‘berada’ sehingga kita anak-anaknya tidak terlalu perlu repot-repot melakukan pekerjaan rumah tangga karena di rumah ada seorang PRT (yang dulu merupakan singkatan Pembantu Rumah Tangga, namun sekarang diubah menjadi PEKERJA Rumah Tangga). Kalau pun sejak kecil aku mendapatkan tugas menyapu rumah, ortu hanya bermaksud untuk membiasakan anak-anaknya bekerja di rumah.
Setelah lulus SMA dan hijrah ke Jogja (keinginanku yang kuat untuk memisahkan diri dari ortu membuatku melakukan suatu a kind of ‘trick’ sehingga ortu tidak memiliki celah untuk mengatakan “Jangan” kepadaku. Tricky of me. LOL) jelas aku harus melakukan segalanya sendiri, mulai dari bersih-bersih kamar, mencuci pakaian, menyeterika, sekaligus memasak. Dan? Tanpa perlu susah payah—dan aku tidak menganggapnya sebagai sesuatu yang sangat sulit untuk dipelajari—aku pun mampu melakukan ‘pekerjaan rumah tangga’ tersebut. (Well, aku membandingkan dengan seorang teman kos yang rada ‘manja’, sehingga mencuci menjadi suatu ‘beban’ yang maha dahsyat. Lupakan laundry, di pertengahan tahun delapan puluhan itu, bisnis laundry belum ditemukan di tengah-tengah kos. Satu kali dia melakukan satu hal yang lumayan ‘fatal’ bagi rekan-rekan satu kos gara-gara dia malas mencuci baju, meskipun dia telah merendamnya berhari-hari, bahkan berminggu-minggu, hingga akhirnya menyebabkan bau yang tidak sedap. Alhasil, dia tidak jadi mencuci baju yang telah dia rendam tersebut, tapi membuangnya ke tempat sampah. Dan dengan entengnya dia ngeles, “Aku ga pernah mencuci pakaian sih di rumah! Jadi terasa berat banget tugas mencuci baju ini!” Lah, aku juga ga pernah sewaktu tinggal di Semarang, karena ada PRT yang selalu mencuci pakaian kita sekeluarga! Namun toh tatkala aku harus mencuci, aku pun melakukannya.
Aku pun berpikir bahwa Angie pun akan ‘menuruni’ cara berpikirku yang seperti ini.
Berhubung aku TIDAK PERNAH harus mencuci pakaian sendiri sampai aku lulus SMA (barangkali kalau aku tidak hijrah ke Jogja, aku juga belum akan mencuci pakaian sendiri sampai sekitar pertengahan tahun 1989 tatkala PRT di rumah ‘dipensiunkan’ karena bokap pun pensiun dari pekerjaannya), aku pun tidak pernah memberi tugas Angie mencuci pakaiannya sendiri.
Sampai tahun 2002 yang lalu …
Waktu itu aku balik ngekos lagi di Jogja untuk melanjutkan studi. Satu kali Angie berkunjung ke Jogja dan menginap beberapa hari di kos. Satu pagi karena buru-buru ke kampus, aku tidak selesai mencuci pakaian. Berpikir untuk ‘mengajari’ Angie melakukan satu pekerjaan rumah tangga, aku memintanya untuk menjemur pakaian yang kucuci pagi itu. Shockingly, Angie menolak!!! Dengan alasan, “Angie ga bisa Ma!!!”
Aku shocked.
Masak menjemur pakaian aja ga bisa? Paling-paling Cuma manja aja dia!
Namun karena aku akan terlambat untuk ke kampus kalau aku harus menjemur pakaian yang baru saja kucuci, aku pun menggunakan ‘authority’ sebagai nyokap untuk MEMAKSA Angie untuk melakukannya. Begitu mendengar aku berkata dengan nada ‘I-am-your-mother-so-you-have-to-listen-to-me’, akhirnya Angie pun tak berkutik. LOL.
Dari peristiwa ini aku belajar satu hal, “Aku harus membiasakan Angie belajar melakukan pekerjaan rumah tangga agar dia tidak tumbuh menjadi pribadi yang manja.”
Sejak pertengahan Agustus 2008 lalu, I got a new job dan aku harus ngantor sejak pukul 07.00 sampai 15.00. Setelah itu aku masih ngajar lagi pukul 17.00-19.00. Sama sekali aku tidak punya waktu luang untuk mencuci pakaian, kecuali hari Minggu. Kebiasaan Angie untuk selalu memakai seragam yang bersih tiap hari ‘terancam’. LOL. (NOTE: dia hanya punya dua stel seragam sekolah, sehingga untuk memakai seragam bersih tiap hari, aku harus mencuci seragamnya tiap hari pula, satu dipakai ke sekolah, yang satu lagi dicuci.) So? Dengan senang hati (hehehehe…) aku pun memberinya tugas, “Cuci seragam sekolah sendiri ya Sayang setiap kali pulang sekolah? Nanti Mama yang nyetrika. Deal?”
Dan Angie pun tak punya daya untuk menolaknya. LOL.
PT56 20.00 260908

Wednesday, September 10, 2008

Memilih Jurusan

Memilih fakultas maupun jurusan apa yang akan diambil setelah lulus SMA tentu bukan masalah yang mudah. Itu sebabnya semenjak Angie duduk di bangku SMP, aku memintanya untuk menimbang-nimbang jurusan apa yang akan dia ambil selepas SMA nanti, berdasarkan kesukaannya. PSIKOLOGI adalah jurusan pilihan Angie sendiri, mengingat kebiasaannya untuk meminjamkan telinganya untuk menjadi ‘tempat sampah’ alias curhatan teman-teman dekatnya. Kadang-kadang Angie akan berbagi denganku, untuk kemudian mencari solusi bersama, yang nantinya akan dia sampaikan ke teman-temannya.
Itu sebab waktu duduk di bangku SMA kelas 1, aku menyemangatinya untuk bisa masuk ke jurusan IPA di kelas 2 nantinya, karena untuk masuk fakultas PSIKOLOGI di UNDIP, seseorang katanya harus lulus dari IPA. Konon UGM membolehkan seorang lulusan IPS untuk mengambil jurusan PSIKOLOGI. Namun berhubung aku tidak yakin apakah aku akan mampu membiayai kuliahnya di luar kota (harus menyediakan uang ekstra untuk kos, belanja keperluan sehari-hari plus makan, belum lagi transportasi), aku meminta pengertian Angie untuk mengubur mimpinya mengikuti jejak langkahku untuk kuliah di UGM.
Mulai masuk kelas 3 pertengahan bulan Juli lalu, aku mulai membuka wacana baru buat Angie, mempersiapkannya memilih jurusan lain, selain PSIKOLOGI. Rencana, dia akan kuminta (dan Angie pun setuju, karena begitu juga saran guru wali kelasnya) mengambil IPC. Berarti Angie perlu memilih dua jurusan alternatif.
“Give me some suggestions, Mama.” Katanya.
Kedokteran is out of question karena terlalu mahal bagiku, plus dia jijik melihat darah, dan takut melihat cadaver, apalagi harus terlibat dengan makhluk tanpa nyawa itu terus setiap hari. Kalaupun masuk fakultas Teknik, aku sarankan dia untuk masuk Teknik Industri. Sedangkan untuk jurusan IPS, aku beri dia alternatif fakultas Hukum, Komunikasi atau Sastra Inggris. Untuk fakultas Ekonomi, dia tidak menikmati Akuntansi.
Surprisingly, dia memilih jurusan yang dulu aku tolak mentah-mentah tatkala my late Dad menyarankanku รจ HUKUM. Dia pengen jadi notaris katanya.
She really wants to be different from me. English Department is really not in her ‘dictionary’.
Beberapa minggu kemudian, dia bercerita tentang salah seorang sobatnya yang masih bingung memilih jurusan apa nantinya.
“Kirain dia mau masuk Kedokteran Gigi. Biar jadi Dokter Gigi, kayak Mamanya.” Kataku.
“Dia bilang itu pilihan Mamanya. Namun ternyata itu bukan pilihan hatinya. Dan Mamanya tidak memberinya gambaran jurusan-jurusan lain.” Kata Angie.
Dan masalah ini pun tidak hanya menimpa sobat Angie tersebut. Banyak teman dekat Angie lain yang belum tahu kemana akan melangkah.
“Kamu pertimbangkan dulu, kira-kira kamu punya bakat dimana,” saran Angie kepada teman-temannya; saran yang sama yang dulu kukatakan kepadanya waktu akhirnya dia memutuskan untuk memilih PSIKOLOGI.
“Perasaan aku ga punya bakat apa-apa tuh?” komplain mereka.
“Lah, pelajaran apa yang kamu sukai?” tanya Angie.
“Ga ada juga.” Jawab mereka. LOL.
Repot deh.
Pengalamanku waktu bekerja di sebuah Bimbingan Belajar satu dekade yang lalu, para tentor memang membantu anak didik untuk memilih jurusan apa yang akan dipilih sewaktu test masuk perguruan tinggi negeri, berdasarkan kesukaan, plus hasil nilai tes yang diadakan secara periodik di lembaga tersebut. Namun, demi gengsi lembaga—bahwa lembaga tersebut mampu ‘menembuskan’ anak didiknya untuk diterima di perguruan tinggi negeri dalam jumlah yang mendekati 100%--biasanya para tentor memberikan saran yang agak bias, mereka pilihkan PTN yang terletak di kota kecil, atau bahkan di luar Jawa, atau fakultas yang memiliki ranking rendah, yang penting si anak didik diterima di PTN, terlepas dari apakah pilihan itu memenuhi minat, bakat, plus kesukaan si anak. Hasilnya? Bisa jadi seseorang tidak akan bisa menikmati kuliahnya, dan menyebabkan proses studi tersendat.
PT56 12.30 070908