Tuesday, June 24, 2008

Sabtu 21 Juni 2008

Hari kenaikan kelas. Alias hari pembagian raport.
Karena undangan untuk orang tua murid jam 10.00, pagi hari aku masih sempat ke Paradise Club dulu. Aku berangkat naik sepeda mini kiriman kakakku dari Cirebon beberapa bulan yang lalu. Ternyata ... memang lebih melelahkan dibandingkan naik sepeda federal. 
Jam 09.15 aku sudah selesai mandi, dan menyuruh Angie untuk segera mandi pula.
Pukul 09.30 waktu kita berdua sedang siap-siap berangkat ke SMA N 3 Semarang, sekolah Angie sekarang ini, atau sekolahku dulu di tahun 1983-1986, Angie ‘melancarkan aksinya’.
“Entar Mama jangan pakai sepatu boots ya?”
“Emang kenapa?” tanyaku.
“Terlalu mencolok ah,” protesnya. LOL. “Mama mau pakai baju apa nanti?” tanyanya.
“Hmm ... celana jeans plus T-shirt ungu yang dibelikan Lily di Bandung?” tanyaku. Aku heran kenapa pula Angie ingin tahu bagaimana aku akan berpenampilan di sekolahnya nanti. 
“Hmm ... Angie udah mengiranya.” Katanya.
Kok bisa ya? Padahal baru pagi itu aku ingat kalau aku punya T-shirt ungu cerah berhiaskan manik-manik, pemberian Lily. Sudah lama T-shirt itu tidak kupakai.
“If I am not mistaken, semester kemarin di kelas Angie cuma Mama deh yang mengenakan celana jeans, yang lain berpenampilan ‘ibu-ibu’ gitu deh.” Kataku.
“Kalau Mama pakai celana jeans, Mama mau pakai ‘sepatu gunung’ ah.” Sambungku.
Angie langsung memonyongkan mulutnya.
“Well how about these honey?” tanyaku, sambil menunjuk sepatu model terbuka, yang menurutku terlalu seksi karena terbuka begitu.
“Ah good Mama. Pakai sepatu ini aja,” jawabnya.
“Do you forget I have these shoes? Ini sepatu yang Mama beli untuk ujian tesis, kemudian juga Mama pakai waktu wisuda S2,” terangku.
Mungkin di mata Angie, sepatu berhak lima sentimeter plus cukup terbuka itu, sangat feminin dan pantas kukenakan waktu bersamanya ke sekolah mengambil raport, sehingga dia senang mendengarku akan memakai sepatu itu. FYI, dia jarang mau ngikut ke sekolah waktu mengambil raport. Dia lebih suka ngendon di rumah.
“Berarti entar Mama pakai rok aja,” kataku.
Angie mengangguk-angguk.
Waktu aku menunjukkan dua buah T-shirt yang akan kupakai, tidak jadi yang ungu cerah, dia memilih yang bermodel feminin, warna hitam, berhiaskan manik-manik di bagian dada.
“Honey, Mama bener-bener nampak seperti ‘ibu-ibu’ nih!” komplainku, waktu kita siap akan berangkat.
“Loh, bukannya peran Mama kali ini memang menjadi seorang Ibu?” komentar Angie. LOL.
*****
Sampai di sekolah kurang lebih pukul 10.10.
Waktu berjalan dari tempat parkir menuju kelas Angie, Angie mengkritik caraku berjalan, “Mama jangan terlalu membusungkan dada gitu dong Ma?!?”
Ealah, repot amat setelah anakku berusia 17 tahun yak? LOL.
“Loh Sayang, bukannya memang begini cara Mama berjalan? Masak Mama disuruh membungkukkan badan gini? Kan ya ga lucu?!?”
Sesampai di depan kelas Angie, dia langsung berbaur dengan teman-temannya sekelas, dan aku masuk kelas. Belum banyak orang tua/wali murid yang ada di dalam. Kurang dari 10 orang kalau tidak salah. Aku langsung menempatkan diri di samping seorang perempuan kurang lebih sebaya denganku, mengenakan jilbab, yang duduk di bangku nomor 2, lajur ketiga dari pintu masuk. Dia adalah teman akrabku waktu kita duduk di bangku SMP kelas 1.
Aku bersyukur wali kelas Angie tidak terlalu banyak berbicara di depan kelas. Tak lama setelah aku duduk, beliau langsung mempersilakan siapa yang datang lebih dahulu untuk segera menemuinya untuk mengambil raport.
“Padahal aku tadi datang nomor satu, tapi aku ga langsung masuk, duduk-duduk di luar dulu,” kata temanku, berbisik di telinga.
“Kenapa kamu ga langsung masuk saja?” tanyaku.
“Males, lha wong banyak anak-anak yang duduk di dalam kelas tadi,” katanya.
“Ya sudah salahmu sendiri. Ga usah protes,” jawabku.
Aku ingin acara pengambilan raport ini segera berlalu.
Meskipun dulu kita sangat akrab, sekarang aku justru merasa tidak nyaman berada bersamanya. Satu hal utama: dia suka memamerkan kekayaannya. Well, bukan karena aku iri padanya karena dia kaya, tapi kurasa tidak sopan saja tiba-tiba dia berbicara, “Aku ke sini tadi naik mobil yang nyetir anakku. Padahal dia belum punya SIM A.”
Aku tahu dia hanya ingin bilang ke aku, “Na, aku punya mobil sekarang.” Tentu saja tidak masalah anaknya belum punya SIM A karena toh kalau ketangkap petugas, adiknya yang bekerja sebagai polisi bisa membebaskannya dengan mudah?
“Aku baru beberapa hari yang lalu pulang dari Kalimantan loh Na! Aku di sana kurang lebih satu setengah bulan.”
Aku tentu tidak akan sampai hati kalau mengatakan, “Lah, yang merhatiin anak-anakmu siapa kalau kamu keluyuran melulu mengikuti suami paruh waktumu?”
Satu hal yang pernah aku debatkan bersamanya beberapa tahun lalu waktu dia cerita menikah siri dengan seorang laki-laki yang sudah bersuami. Di awal, dia bilang dia ‘ditipu’ oleh laki-laki itu yang mengaku sebagai bujang lapuk. Di kemudian hari, dia bilang ke aku kalau istri pertama suaminya itu tidak layak menjadi istri karena tidak becus mengurusi suami. Ditambahi bumbu, “Mertuaku jauh lebih sayang kepadaku loh Na, dibandingin istri yang pertama.”
Aku bilang kalau dia tidak berhak menghakimi istri pertamanya seperti itu karena di mataku justru suaminya yang brengsek karena berbohong mengaku sebagai bujang lapuk waktu akan menikahinya. Aku juga bilang kalau dia tidak berhak merebut suami orang.
You can guess dia langsung ngeles ini itu tatkala mendengarku berkata seperti itu, dan bukannya ‘membelanya’ karena dia adalah temanku dan aku tidak mengenal istri pertama suaminya.
Aku tidak ingin berbicara banyak padanya sehingga aku lebih memilih diam.
Untunglah tak lama kemudian nama anaknya dipanggil. Setelah menerima raport, dia langsung keluar kelas.
Waktu wali kelas Angie memanggil nama, “Dzikrina ...?”
Aku langsung maju.
“Angie ya Bu nama panggilannya?” tanya wali kelas Angie itu.
Aku mengangguk-angguk.
“Di kelas Angie adalah anak yang pendiam,” katanya.
“Oh? Di rumah dia banyak omong, terutama kepada saya,” kataku.
“Kalau tiika ditanya, dia tidak mau ngomong apa-apa. Dia harus dipancing dulu,” jelasnya.
“Oh, itu namanya dia tidak mau menonjolkan diri,” kataku. LOL.
“Tapi nilai-nilainya bagus kok,” katanya, sambil melihat raport Angie secara sekilas. “Semua tuntas.”
“Alhamdulillah,” jawabku.
Setelah bersalaman, aku keluar.
Ternyata di depan kelas, temanku itu masih berdiri di sana, bersama anaknya.
Tak lama aku beramah-tamah dengannya, aku langsung mengajak Angie pergi.
“Kita mau jalan-jalan,” kataku.
Dari sekolah, kita meluncur ke kawasan Tembalang. Kita berdua makan siang di “Sim-Six resto garden” yang tepatnya berlokasi di Jalan Ngesrep Timur V nomor 25 Semarang.
Naik kelas menurutku adalah kewajiban setiap anak, yang harus mereka persembahkan untuk orang tuanya. Menraktir mereka makan enak (“berwisata kuliner” kata Angie) bagiku adalah salah satu cara yang bisa dilakukan oleh orang tua untuk menunjukkan rasa suka cita mereka, sekaligus rasa terima kasih mereka kepada sang anak yang telah berupaya keras untuk belajar dengan baik. Demi masa depan anak-anak itu sendiri.
PT56 16.56 210608

No comments: