Monday, February 05, 2007

Raising Angie


“Pada waktu Angie berusia berapakah kamu merasakan paling sulit membesarkannya?”
Ini adalah satu pertanyaan seorang rekan kerja kepadaku hari Sabtu siang tatkala aku sedang mengerjakan monthly report di ruang guru.

Dan aku sedikit bengong mendengarnya karena teman satu ini tahu betul betapa dekat hubunganku dengan Angie—dan kamu tahu, dia memberi nama anaknya Anggun, dan memberinya nickname Angie, sama persis dengan nickname my Lovely Star, yang ternyata pernah dikomplain oleh Angie anak semata wayangku itu. LOL. Satu alasan jelas, dia tidak mau diduakan. “Emang ga ada nickname lain apa kok pilih nick itu? Itu kan milik Angie?” komplainnya padaku. LOL. Aku jawab, “Well, honey, to me it shows that that workmate of mine adores you.” Huehehehehe ... dan Angie pun ternyata tetap saja bersungut-sungut. Lebih lanjut aku bilang, “She wants her daughter as sweet and nice as you, don’t you realize that?” Angie hanya menatapku dengan sorot mata heran. Oh goodness, she doesn’t realize that she is very sweet and nice? And of course it is because HER MOTHER—ME IN THIS CASE LOL—IS ALSO VERY SWEET AND NICE? Hahahaha ...

Mbak Icha Koraag—seorang teman milis—menjulukiku “Si Nana yang nafasnya selalu penuh cinta”. Kan? Karena aku membesarkan Angie dengan penuh cinta—meskipun bukan berarti aku tidak pernah memarahinya, dengan catatan kalau aku marah aku tidak pernah berteriak-teriak ataupun mengomelinya, kayak kelebihan energi aja LOL—tentu Angie pun tumbuh menjadi anak yang penuh cinta kepadaku.

“Well, you know, my communication with Angie is very ok and I think that’s the basic way to have a good relationship. Therefore, I don’t think I have undergone difficulty to raise Angie,” ini jawabanku kepada rekan kerjaku itu.

Belajar dari pengalamanku sebagai anak juga merupakan salah satu kunci aku memiliki hubungan mulus dengan Angie. Aku tidak pernah ngejudge dia buruk hanya karena dia suka lingering at school setelah pulang sekolah, ataupun main ke rumah Nana—sobatnya yang punya nick sama persis denganku, betapa orang di dunia ini memang kurang kreatif yah? LOL. Sewaktu duduk di bangku SMP dan SMA aku dulu juga suka melakukannya—lingering dengan teman di sekolah, maupun mampir ke rumah teman maksudku—dan aku melihat there is nothing wrong with that. Kalau aku dulu melakukannya, mengapa aku harus mengomeli Angie karena melakukan hal yang sama seperti yang kulakukan dulu? (Ssssttt ... Angie’s grandma expected me to scold Angie for that yang tentu saja tidak kulakukan.)

Aku tidak pernah memarahi Angie—menggunakan istilah rekan kerjaku itu ‘being judgmental’—karena hal-hal yang dia lakukan yang dulu tidak kulakukan. Misalnya dia bercerita ketika dia tidak menyukai satu pelajaran ataupun gurunya, dia kabur ke kantin sekolah dengan teman-temannya. Daripada aku omelin kemudian dia ga mau lagi bercerita hal-hal “kreatif” seperti itu lagi? Aku akan lose track atas apa aja yang dia lakukan. Satu hal yang pasti, meskipun dia tidak suka gurunya maupun pelajaran tertentu, sebagai siswa SMA N 3, dia dikenai beban untuk lulus satu pelajaran jika mendapatkan nilai 75, di bawah itu, dia akan harus terus menerus mengulang. Mau tidur di kelas kek, mau kabur ke kantin kek, dia tidak bisa melarikan diri dari tanggung jawab ini.

Satu hal lain lagi yang dia lakukan—dan tidak pernah kulakukan ketika aku duduk di bangku SMA—adalah mempersiapkan contekan dengan canggih. Oh well, tentu saja, karena dua puluh tahun yang lalu, aku tidak punya media untuk itu. Barangkali aku akan melakukan hal yang sama jika ada media canggih yang akan membantuku mencontek. Hahahahaha ... Anak-anak sekarang—berdasarkan cerita-cerita siswa-siswaku di tempat kerjaku, juga dari Angie tentu saja—sering menggunakan media sms untuk saling mencontek. Kebetulan Angie memiliki MP yang bisa dipakai untuk menyimpan dan membaca tulisan menggunakan txt extension. Satu malam, aku memergokinya mengetik menggunakan notepad dan bukan MsWord. Aku lihat MP nya menempel di kabel perpanjangan USB yang tentu berarti dia pakai untuk menyimpan ketikan notepad itu di MPnya. Aku tanya, “What are you doing honey?”
“Biasa lah Ma, mempesiapkan contekan,” jawabnya ringan. LOL.

Aku tidak kaget karena aku telah memperkirakan that was what she was doing at that time. Oh well, harus menyalahkan siapa kalau di Indonesia negeri tercinta ini pendidikan masih bertumpu pada hafalan dan bukan pemahaman? Satu hal pasti yang selalu kukemukakan pada Angie, aku ingin dia memahami satu topik permasalahan yang dia jumpai dalam pelajaran di sekolah, dan bukan hanya menghafalkan, dan seminggu kemudian lupa.

Akhir-akhir ini aku memang tidak begitu disibukkan oleh jadual kerjaku yang mebuatku punya waktu untuk menjemput Angie pulang sekolah. Di malam hari masih sempat mendengarkan celotehannya tentang teman-teman sekolahnya, guru-guru yang katanya sering sok tahu masalah remaja—perhatikan CUMA SOK TAHU tanpa benar-benar pernah mau memahami apa yang mereka alami dan rasakan—cowo-cowo yang dia taksir, dll.

Membesarkan anak selalu merupakan satu kegiatan dan tanggung jawab yang sangat asik bagiku. Bagiku cinta bukan hanya untuk diucapkan dan dirasakan, namun juga diungkapkan dengan physical touch—aku selalu suka menciumnya dan memeluknya—memahami dunianya yang tentu sudah berbeda dari duniaku ketika aku masih remaja, berkomunikasi yang baik—saling mendengarkan satu sama lain dan saling percaya.

Memberi mereka kesempatan—dan kepercayaan tentu saja—untuk melakukan hal-hal yang ingin mereka lakukan yang mereka yakin itu baik buat mereka, dan kita cukup memantau dari belakang. Dan lain lain deh.

Klise yak?

Hahahahahaha ...

PT56 07.15 040207

No comments: